Example floating
Example floating
Example 728x250
GorontaloDaerahOpiniPolitik

BNI Cabang Gorontalo dan Wajah Arogansi yang Membunuh Karakter

100
×

BNI Cabang Gorontalo dan Wajah Arogansi yang Membunuh Karakter

Sebarkan artikel ini
Kader HMI cabang Gorontalo
Kader HMI cabang Gorontalo
Example 468x60

‎Di tengah derasnya arus informasi tentang BNI Cabang Gorontalo, saya menjumpai praktik yang memalukan: character assassination alias pembunuhan karakter, dibungkus dengan sikap arogansi. Dengan dalih “mengamankan” dan “mencari solusi”, justru saya dilempar pertanyaan sinis: “Apa kapasitas Anda beropini di media pers?”

‎Jawaban itu jelas merendahkan. Kapasitas saya adalah mahasiswa. Dan sejak kapan mahasiswa harus meminta izin untuk berpendapat? Bahkan, pihak bank menambahkan: “Kalau Anda nasabah, baru bisa beropini. Lembaga yang Anda lawan ini besar dan sudah ada sebelum Anda lahir.”
‎Apakah karena BNI adalah lembaga besar, maka otomatis kebal kritik? Apakah mahasiswa harus diam dan tunduk pada kesombongan institusi yang merasa paling berkuasa?

‎Pertanyaan seperti ini justru memperlihatkan wajah asli arogansi dari bank BNI. Bank boleh besar, tetapi bukan berarti tidak bisa dikritik. Mahasiswa tidak hanya bicara untuk diri sendiri, tetapi untuk publik. Mengabaikan fungsi mahasiswa sebagai agen moral dan sosial adalah bentuk pelecehan terhadap peran kritis generasi muda.

‎Kita harus sadar, membunuh karakter jauh lebih berbahaya dibanding berdebat secara terbuka. Arogansi hampir selalu berjalan beriringan dengan pembunuhan karakter: mereka yang merasa superior menggunakan kekuasaan, popularitas, atau modal sosial untuk menekan pihak lain. Arogansi menutup empati, merampas kesetaraan, dan merusak martabat manusia. Padahal, kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang mampu menghargai perbedaan dan menjunjung keadilan.

‎Dua penyakit sosial ini, arogansi dan pembunuhan karakter adalah racun bagi demokrasi. Keduanya mengikis nilai kemanusiaan, melahirkan ketidakadilan, dan menghancurkan ruang publik. Ruang publik seharusnya menjadi arena adu gagasan, bukan ladang adu ancaman. Demokrasi tumbuh dalam dialog, bukan dalam teror reputasi.

‎Kritik adalah hak warga negara, bukan hadiah dari penguasa atau institusi. Kritik adalah vitamin bagi demokrasi, sementara pembunuhan karakter hanyalah racun yang mempercepat kehancuran peradaban. Jika praktik ini terus dipelihara, maka kita sedang menyiapkan generasi yang apatis, ruang publik yang rapuh, dan bangsa yang kehilangan kepercayaan pada institusinya.

‎Karena itu, saya tegaskan: lembaga besar tidak boleh anti kritik. Arogansi bukan tanda wibawa, melainkan tanda rapuhnya moral. Dan mahasiswa tidak akan pernah berhenti bersuara, sekalipun dicoba dibungkam dengan fitnah dan kesombongan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *