Gorontalo – Menyambut peringatan Hari Kemerdekaan ke-80, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, menghadirkan sebuah gagasan segar yang berbeda dari tradisi seremonial pada umumnya. Jika biasanya perayaan kemerdekaan identik dengan lomba-lomba dan upacara seremonial, kali ini para mahasiswa mengajak masyarakat untuk merenung lebih dalam melalui Diskusi Publik dengan tema ”Lingkungan dan Nasionalisme ; Menakar Tafsir Cinta atas Tanah Air.”
Kegiatan ini menjadi ruang refleksi bersama, bahwa mencintai tanah air bukan sekadar meriah dengan simbol-simbol perayaan, melainkan juga diwujudkan dalam kepedulian nyata terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup bersama. Dengan melibatkan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pemuda, serta mahasiswa, diskusi ini menegaskan bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya lahir dari kesadaran kolektif menjaga bumi, desa, dan bangsa.
Koordinator Desa (Kordes) KKN Tematik Tabumela, Ismawaty Pakaya, menilai bahwa kegiatan diskusi publik ini lahir dari kegelisahan melihat tradisi perayaan kemerdekaan yang kerap terjebak pada seremoni belaka. “Aku menilai, Kemerdekaan seringkali dirayakan dengan cara yang begitu klise: balap karung, makan kerupuk, dan upacara yang kadang hanya sebatas formalitas. Semua riuh sejenak, lalu usai, tanpa ada yang benar-benar berubah. Maka dengan itu, Aku ingin menyambut hari kemerdekan dengan cara yang lebih elok. Menyambut 80 tahun Indonesia merdeka, dengan menolak terjebak dalam seremoni kosong dan memilih melawan kebiasaan dengan pola lama itu.” ungkap Isma, Sabtu,(23/08/2025).
Diskusi publik yang digagas oleh mahasiswa KKN Desa Tabumela itu tidak sekadar menjadi forum kecil di balai desa. Acara tersebut justru mendapat perhatian serius dengan hadirnya sejumlah pihak penting, di antaranya Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gorontalo, Kepala Bidang Kebersihan DLH Kabupaten Gorontalo, Camat Tilango, hingga Kepala Desa Tabumela. Kehadiran mereka memberi bobot tersendiri, seakan menegaskan bahwa tema nasionalisme dan kepedulian lingkungan memang layak diperbincangkan di momentum kemerdekaan.
Tidak hanya jajaran pemerintah, kegiatan ini juga diramaikan oleh Karang Taruna se-Kecamatan Tilango, yang turut menjadi motor penggerak kepedulian generasi muda. Kehadiran rekan-rekan mahasiswa KKN dari Desa Tinelo dan Lawonu semakin memperlihatkan bahwa gagasan “menakar cinta tanah air” punya daya tarik lintas desa. Diskusi ini pun berubah menjadi ruang temu gagasan, mempertemukan mahasiswa, pemuda, dan pemerintah dalam satu meja yang sama.
Dalam ruang itu, mahasiswa KKN Tabumela memaparkan hasil Analisis Situasi pun dengan beberapa temuan lapangan yang di jumpai selama hampir 18-hari berada di desa Tabumela. Tidak hanya itu, mereka juga tidak hadir hanya dengan membawa kritik tetapi juga melahirkan solusi dan beberapa rekomendasi kebijakan. Tentunya dengan uraian tersebut, menjadi pembukan sekaligus pemantik awal dalam proses berjalannya diskusi. Hal ini, kembali menegaskan bahwa ruang diskusi itu bukan hanya sekedar ruang yang biasa, tetapi ia merupakan ruang yang cukup serius karna berbicara soal fakta dan data.
Dengan begitu, kegiatan Diskusi Publik ini di sambut hanagat oleh pemerintah daerah, khususnya Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gorontalo Suharto Akase. S.Km. M.M., menyampaikan apresiasinya kepada mahasiswa KKN sekaligus menaruh harapan besar. ”saya tidak mengatakan masyarakat tidak sadar, tetapi kadang kita abai dan melupakan persoalan sampah. Karena itu, kegiatan diskusi publik seperti ini menjadi ruang refleksi sekaligus pengingat kolektif agar kesadaran itu kembali tumbuh,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan pentingnya perubahan cara pandang terhadap sampah. “Kita perlu melihat sampah bukan lagi sebagai beban, tetapi sebagai potensi. Masyarakat harus mulai menempatkan sampah sebagai sesuatu yang bernilai, bahkan bisa menjadi sumber ekonomi, sampah adalah emas. Jika paradigma ini kita bangun bersama, maka pengelolaan lingkungan bukan hanya menjaga kebersihan, tetapi juga membuka peluang kesejahteraan,” jelas Suharto.
Selain Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gorontalo, apresiasi juga datang dari Kepala Bidang Kebersihan RTH dan SDA DLH Kabupaten Gorontalo Sarifudin Pulukadang. “Saya benar-benar mengapresiasi kegiatan yang dibuat mahasiswa KKN Tabumela ini. Mereka tidak hanya hadir dengan program biasa, tapi juga berani memberikan rekomendasi dan juga solusi yang menurut saya sangat relevan dengan proses pengelolaan sampah di masyarakat .”
Ia menambahkan, “Saya sepakat dengan beberapa gagasan anak-anak mahasiswa, terutama soal pengelolaan sampah. Karena itu saya ingin menekankan kepada pemerintah desa dan kecamatan, mari segera wujudkan bank sampah. Dengan cara ini masyarakat bukan hanya menjaga lingkungan, tapi juga bisa merasakan manfaat ekonomi. Sampah itu jangan hanya dilihat sebagai masalah, tapi bisa menjadi peluang,” ujar Udin.
Selain itu, dukungan yang sama lahir dari camat Tilango Syamsul Qamar Y. Mustafa, S.Kom, M.Si,. Ia menegaskan komitmennya untuk mendukung gagasan yang lahir dari diskusi publik tersebut. “Saya setuju dengan rekomendasi yang muncul, terutama soal pengelolaan sampah dan pengadaan bank sampah. Pihak kecamatan siap mendukung langkah ini, berkolaborasi dengan desa dan pihak terkait, agar ide mahasiswa tidak berhenti di ruangan diskusi saja, tapi benar-benar diwujudkan,” Jelas Syamsul.
Melalui diskusi publik ini, mahasiswa KKN Tabumela bersama masyarakat dan pemerintah berhasil menghadirkan ruang baru untuk menafsirkan ulang makna cinta tanah air di momentum kemerdekaan ke-80. Bukan sekadar seremonial yang selesai dalam sehari, tetapi sebuah ajakan kolektif untuk merawat lingkungan, membangun kesadaran, dan menciptakan perubahan nyata di tingkat desa. Kehadiran pemerintah daerah, kecamatan, hingga tokoh pemuda semakin menegaskan bahwa gagasan mahasiswa memiliki tempat penting dalam mendorong gerakan bersama.
Dari Tabumela, sebuah pesan jelas disuarakan: kemerdekaan tidak cukup hanya dengan bendera dan lomba rakyat, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata menjaga bumi, desa, dan bangsa.
Gerakan kecil yang dimulai di desa ini menjadi bukti bahwa nasionalisme bisa lahir dari hal sederhana dari kepedulian terhadap sampah, dari refleksi bersama, hingga dari keberanian untuk mengubah kebiasaan lama menjadi praktik yang lebih bermakna.