Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Senayan menimbulkan harapan sekaligus tanda tanya besar: benarkah Indonesia siap keluar dari jebakan ketergantungan utang? Dalam rapat paripurna DPR, Selasa (23/9/2025), Menkeu menegaskan bahwa strategi fiskal tahun depan tidak lagi akan bertumpu pada penarikan utang besar, melainkan pada optimalisasi pendapatan negara melalui percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan penuh keyakinan, ia menghitung setiap tambahan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan mendatangkan Rp220 triliun ke kas negara, sementara tambahan 0,5 persen saja berarti Rp110 triliun ekstra. Klaim ini terdengar meyakinkan, tetapi publik tentu patut bertanya: seberapa realistis skenario optimistis tersebut di tengah kondisi ekonomi global yang serba tidak pasti?
Purbaya mencoba meyakinkan bahwa pengelolaan utang akan lebih bijak, mengikuti prinsip countercyclical: menarik utang hanya saat ekonomi lesu dan menekannya ketika pertumbuhan sudah cukup kencang. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa retorika pengendalian utang kerap tidak sejalan dengan praktiknya. APBN 2026 sendiri masih menyisakan defisit Rp698,15 triliun, atau 2,68 persen terhadap PDB—angka yang bukan kecil. Target pendapatan negara Rp3.153,58 triliun jelas ambisius, dengan beban terbesar ditopang pajak Rp2.693,71 triliun. Pertanyaannya, mampukah pemerintah menggali penerimaan pajak setinggi itu tanpa mengorbankan iklim usaha dan tanpa kebijakan populis sesaat?
Keyakinan Menkeu bahwa Indonesia tak perlu menarik utang besar di tahun depan bisa jadi menimbulkan efek ganda. Di satu sisi, ini menunjukkan keberanian untuk mengurangi ketergantungan fiskal pada pinjaman. Namun di sisi lain, tanpa reformasi struktural pajak yang nyata, janji ini bisa berubah menjadi sekadar optimisme berlebihan. Publik sudah terlalu sering mendengar jargon efisiensi dan peningkatan penerimaan, tetapi pada akhirnya yang terjadi adalah revisi target di pertengahan tahun dan realisasi yang jauh dari harapan. Jika strategi ini gagal, risiko terbesarnya bukan hanya meningkatnya defisit, melainkan hilangnya kepercayaan pasar terhadap kredibilitas fiskal pemerintah.
Dengan demikian, janji Purbaya bukan sekadar wacana teknokratis, melainkan taruhan besar atas keberanian politik dan kemampuan manajerial negara. Pertanyaannya kini: apakah ini momentum lahirnya babak baru pengelolaan keuangan negara yang lebih sehat, atau hanya mimpi manis yang akan segera terbentur kenyataan keras?


















