Example floating
Example floating
Example 728x250
OpiniDaerahGorontaloPolitik

PARADIGMA PEMBANGUNAN KELIRU: AKAR KEMISKINAN GORONTALO

14
×

PARADIGMA PEMBANGUNAN KELIRU: AKAR KEMISKINAN GORONTALO

Sebarkan artikel ini
Ayub Hasan, S.E Alumni Ekonomi Pembangunan, UNG
Ayub Hasan, S.E Alumni Ekonomi Pembangunan, UNG
Example 468x60

— Ayub Hasan, S.E
Alumni Ekonomi Pembangunan, UNG

Gorontalo, sebagai salah satu provinsi muda di kawasan timur Indonesia, sesungguhnya tidak pernah kekurangan anugerah sumber daya. Hamparan lahan agraris yang subur, laut yang kaya ikan, serta potensi perkebunan yang luas telah sejak lama menjadi penopang kehidupan masyarakat.

HUBUNGI 0823-8710-7828
Example 300x600
HUBUNGI 0823-8710-7828

Namun, potensi tersebut tidak berbanding lurus dengan capaian kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik mencatat bahwa persentase penduduk miskin di Gorontalo pada September 2024 masih berada di angka 13,87 persen dan hanya menurun menjadi 13,24 persen pada Maret 2025.

Meski secara statistik terjadi perbaikan, jumlah absolut penduduk miskin masih mencapai lebih dari 162 ribu jiwa. Lebih jauh, kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan tampak begitu jelas, dengan tingkat kemiskinan di perdesaan mencapai 20,80 persen, sementara di perkotaan hanya 4,68 persen.

Fakta ini menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan lebih menyerupai pergeseran kecil dalam grafik ketimbang transformasi struktural yang berarti.
Apabila kita menelisik lebih jauh, struktur ekonomi Gorontalo sejak lama bertumpu pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Kuartal pertama tahun 2024, sektor ini masih menyumbang 36,79 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dominasi yang demikian besar mencerminkan dua hal sekaligus: di satu sisi potensi agraris-maritim memang nyata, tetapi di sisi lain ketergantungan berlebih pada komoditas primer menjadikan ekonomi daerah ini rapuh.

Jagung yang menjadi ikon pembangunan Gorontalo, meskipun produksinya melimpah dan menempatkan provinsi ini sebagai salah satu lumbung pangan nasional, pada akhirnya hanya dipasarkan dalam bentuk mentah.

Demikian pula hasil laut yang berlimpah lebih sering diekspor dalam bentuk bahan baku tanpa proses pengolahan. Nilai tambah yang seharusnya dapat memperkuat kesejahteraan masyarakat hilang, sementara keuntungan justru dinikmati industri di luar daerah.

Paradoks inilah yang membuat kita perlu menguji kembali paradigma pembangunan yang selama ini ditempuh. Amartya Sen dalam karya monumental Development as Freedom menegaskan bahwa kemiskinan tidak semata-mata merupakan ketiadaan uang, melainkan absennya kapabilitas manusia untuk hidup bermakna.

Dengan menggunakan kerangka ini, jelaslah bahwa masalah Gorontalo tidak terletak hanya pada besarnya jumlah jagung yang diproduksi atau berapa persen angka kemiskinan menurun.

Pertanyaan yang lebih mendasar ialah kapabilitas apa yang sejatinya telah dibangun di tengah masyarakat Gorontalo: Apakah pendidikan—benar-benar membuka ruang mobilitas sosial vertikal? Apakah layanan kesehatan—yang tersedia mampu menjamin produktivitas warga? Atau pembangunan sejauh ini hanya berorientasi pada pencapaian target statistik, tanpa menyentuh substansi pemberdayaan manusia?
Pembangunan di Gorontalo cenderung menampilkan wajah yang kuantitatif.

Pemerintah daerah lebih sering merayakan capaian angka—penurunan persentase kemiskinan, lonjakan produksi jagung, atau laju pertumbuhan ekonomi namun lupa menguji kualitas di balik angka-angka tersebut.

Paradigma kebijakan yang konsumtif tampak dari alokasi anggaran yang lebih condong pada program-program jangka pendek daripada investasi produktif yang dapat memperkuat industri hilir dan basis inovasi.

Sementara itu, dalam tataran sosial, masyarakat kerap terjebak dalam sikap pasrah terhadap struktur ekonomi yang ada, sehingga transformasi ke arah diversifikasi dan industrialisasi berjalan amat lamban.

Dengan kondisi demikian, maka pembangunan yang dijalankan sering kali berhenti pada kosmetika statistik. Angka-angka memang bergerak menurun, tetapi substansi kehidupan masyarakat tidak banyak berubah.

Dalam bahasa yang lebih kritis, kemiskinan di Gorontalo adalah refleksi dari paradigma pembangunan yang keliru: paradigma yang lebih menekankan kuantitas daripada kualitas, konsumsi daripada produksi, serta pencitraan daripada pemberdayaan.

Maka yang dibutuhkan Gorontalo sesungguhnya adalah perubahan paradigma. Pembangunan tidak boleh lagi berhenti pada kebanggaan produksi jagung mentah atau angka penurunan kemiskinan yang semu.

Pembangunan harus diarahkan pada penciptaan nilai tambah melalui industrialisasi, pada investasi yang serius dalam pendidikan dan keterampilan agar tenaga kerja siap menghadapi kompetisi, serta pada layanan kesehatan yang bukan sekadar kuratif tetapi juga preventif dan produktif.

Perguruan tinggi dan lembaga riset lokal semestinya dilibatkan lebih intens dalam merumuskan arah pembangunan, sebab tanpa inovasi, Gorontalo hanya akan terus menjadi pemasok bahan mentah bagi industri di luar daerah.

Di sisi lain, penguatan UMKM dan koperasi dengan dukungan teknologi digital serta akses pembiayaan menjadi krusial untuk menumbuhkan basis ekonomi kerakyatan.

Pada akhirnya, kemiskinan di Gorontalo tidak dapat dipandang hanya sebagai akibat dari keterbatasan sumber daya atau minimnya modal ekonomi. Ia adalah cermin dari arah pembangunan yang salah kaprah, yang lebih terpesona pada angka statistik ketimbang pada penguatan kapabilitas manusia.

Sebagaimana ditegaskan oleh Amartya Sen, pembangunan sejati adalah kebebasan bagi manusia untuk hidup bermakna. Gorontalo membutuhkan paradigma baru, paradigma yang membebaskan manusia dari belenggu ketergantungan pada komoditas primer dan dari jebakan statistik semu. Hanya dengan jalan itu, provinsi ini dapat keluar dari paradoks antara potensi besar yang dimilikinya dan realitas kemiskinan yang masih membelenggu.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *